Galih Gumelar Center - Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkarinya, maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam (QS. Ali Imran: 97). SETIAP orang yang berusaha taat menjalankan perintah Allah, pasti menginginkan bisa menunaikan ibadah haji ke Baitullah.
Siapapun dia, kaya atau miskin. Tetapi, tak jarang pula orang yang telah dicukupkan hartanya dan diberi nikmat sehat, sering menunda-nunda kewajiban tersebut dengan berbagai alasan. Sementara, sebagian orang belum mampu berangkat haji karena masalah uang. Sahabat, perkara haji sama sekali bukan perkara ada tidaknya uang.
Betapa banyak orang yang dititipi harta melimpah, tapi tetap saja ia tidak bisa berangkat haji. Tak sedikit di antara mereka pulang-pergi ke luar negeri, namun toh tetap tidak pernah sampai ke Tanah Suci. Mengapa demikian? Seseorang bisa menunaikan ibadah haji apabila telah di "diundang" oleh Allah Yang Mahakaya. Allah mengundang hamba-Nya disebabkan karena dua hal.
Ada yang diundang karena niatnya baik, dan ada pula yang diundang karena niatnya jelek. Ada yang membedakan antara dua kelompok orang ini yaitu setelah kepulangannya dari Tanah Suci. Yang pertama akan menyandang gelar haji mabrur dan yang kedua menyandang gelar haji mardud. Apa yang menyebabkan haji seseorang itu mabrur atau mardud? Penyebab utamanya adalah faktor niat.
Bila seseorang pergi haji karena ingin mendapatkan titel haji agar terlihat lebih bonafid, misalnya, maka niat seperti ini hanya akan menjerumuskan diri pada kesia-siaan. Ibadah haji adalah panggilan hati dan kewajiban setiap Muslim. Bahkan, dapat dianggap hutang bila belum ditunaikan. Alangkah indahnya andai sebelum mati, kita bisa menyempurnakan keislaman kita, hingga Allah pun berkenan menyempurnakan karunia nikmatnya pada kita.
Motivasi kedua adalah ingin menghapus segala dosa. Sebesar apapun dosa seseorang, insya Allah akan terhapuskan bila hajinya diterima. Bila kita sudah memiliki keyakinan seperti ini, sebesar apapun biaya yang harus dikeluarkan untuk ibadah haji, maka akan terasa kecil nilainya dibandingkan dengan hikmah dan manfaat yang diperoleh. Bukankah uang yang kita keluarkan itu hakikatnya milik Allah juga?
Yang ketiga adalah jaminan dari Allah dan Rasul-Nya bahwa tiada balasan yang lebih pantas bagi haji mabrur, kecuali surga! Barangsiapa yakin dengan janji ini, niscaya nilai harta yang dikeluarkan terlalu murah bila dibandingkan dengan pahala yang akan didapat. Betapa tidak! Sudah dosa diampuni, mendapat jaminan syurga, semua biaya yang telah dikeluarkan pun akan diganti dengan berlipat ganda ketika di dunia ini juga.
Tidak ada orang yang pulang dari Tanah Suci dan diterima hajinya, lantas jauh miskin. Sebaliknya, Allah SWT akan memudahkan ia dalam mendapatkan rezeki. Jadi, tidak ada yang paling merugi di dunia ini, kecuali orang yang tidak mau berhaji padahal ia mampu. Bagaimana caranya agar Allah SWT berkenan mengundang kita ke rumah-Nya? Seseorang yang mencintai sahabatnya, pasti mau berbuat apa saja bagi sahabatnya tersebut.
Mungkin, suatu saat ia akan mengundang sang teman ke rumahnya. Andaikan sahabatnya tersebut tidak mempunyai ongkos, ia akan memberinya ongkos bahkan menjemputnya. Semakin dia mencintai sahabatnya, maka akan semakin senang dan ikhlas pula ia menjamunya. Demikian pula bila kita ingin diundang oleh Allah.
Jadilah orang yang dicintai-Nya. Bila kita sudah dicintai Allah, maka Allah-lah yang akan memudahkan kita agar dapat menghadap-Nya. Kuncinya, amalkan semua perbuatan yang disukai Allah. Ternyata amalan pertama yang paling disukai Allah adalah shalat tepat waktu. Syarat ini terlihat begitu sederhana.
Tapi, bila kita mampu istiqamah menjaganya, insya Allah doa kita akan mustajab. Amalan kedua adalah shalat tahajud disepertiga malam terakhir. Kedudukan shalat sunnat yang satu ini begitu istimewa, bahkan perintahnya beriringan dengan perintah shalat yang lima waktu (QS. Al-Israa: 78).
Waktu pelaksanaannya pun menjadi saat yang sangat istimewa bagi diijabahnya doa-doa. Semakin kita gemar membiasakan diri shalat tahajud, maka akan semakin mudah pula kita meraih semua yang dicita-citakan, termasuk menunaikan ibadah haji. Amalan selanjutnya adalah birul walidain; memuliakan orangtua. Demi Allah, inilah kunci utama yang dapat membuka selapang-lapangnya keridhaan Allah dan menjadikan pengamalnya meraih kemuliaan dunia akhirat.
Allah SWT berfirman, Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu (QS. Lukman: 14).
Termasuk ke dalam birul walidain ini adalah mendidik anak-anak kita agar menjadi insan-insan shalih yang akan menyelamatkan kita dari adzab neraka--baik dunia maupun akhirat. Amalan keempat yang disukai Allah adalah sedekah. Siapa saja yang ingin cita-citanya terkabul, hendaklah ia gemar bersedekah.
Bersedekah dengan ikhlas, tidak hanya membuat doa-doa kita mustajab, tetapi akan melahirkan pula kebaikan-kebaikan lainnya. Bersedekah tidak harus selalu dengan uang, senyuman yang tulus termasuk pula sedekah. Barangsiapa yang ingin dibahagiakan Allah, maka bahagiakanlah orang lain.
Barangsiapa ingin ditolong Allah, maka tolonglah orang lain. Barangsiapa ingin dimudahkan urusannya oleh Allah, maka mudahkanlah urusan orang lain. Pendek kata, begitu banyak peluang untuk menjadi hamba yang disukai Allah. Kita ini milik Allah, begitupun harta yang kita miliki.
Sebanyak apapun harta yang kita belanjakan di jalan Allah, pasti Ia akan mengganti harta yang kita belanjakan tersebut dengan yang lebih banyak dan berkah. Karena itu tak heran bila Rasulullah SAW selalu melepas orang yang berhaji dengan sebuah doa, "Semoga Allah menerima hajimu, mengampuni dosamu, dan mengganti biaya-biayamu" (HR. Ad-Dainuri). Jadi, apalagi yang kita cemaskan dari janji-janji Allah tersebut?
Galih Gumelar Center - Manusia seringkali berlaku egois. Ketika menginginkan rindu sesuatu, ia berdoa habis-habisan dan berupaya sungguh-sungguh demi tercapainya segala yang dirindukan. Tatkala berhasil, serta-merta ia pun melupakan Allah. Bahkan ia menganggap bahwa keberhasilan itu adalah hasil jerih payah dirinya sendiri.
Sebaliknya, bila kegagalan menimpa, ia sering kecewa karenanya. Terkadang ia berburuk sangka kepada Allah dan menimpakan kekecewaannya itu kepada siapa saja yang dianggap biang penyebab kegagalan tersebut. Padahal, rasa kecewa, sedih, dan kesal itu lahir karena manusia terlalu berharap bahwa kehendak Allah harus selalu cocok dengan keinginannya.
Jelas dari kedua sikap tersebut ada sesuatu yang terlewatkan. Yaitu sikap sabar, tawakal, dan syukur nikmat. Karenanya, beruntunglah orang yang memiliki sikap sabar ketika musibah datang menimpa dan memiliki syukur ketika keberuntungan datang menerpa.
Sabar, menurut Dzunnun Al-Mishry, adalah menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan agama dan bersikap tenang manakala terkena musibah, serta berlapang dada dalam kefakiran di tengah-tengah medan kehidupan. Atau, seperti kata Al-Junaid, "Engkau menelan suatu kepahitan tanpa mengerutkan muka".
Adapun syukur, adalah tindakan memuji si pemberi nikmat atas kebaikan yang telah dilakukannya. Seseorang dikatakan bersyukur kepada Allah, apabila ia mengakui nikmat itu di dalam batinnya, lalu membicarakannya dengan lisan, serta menjadikan karunia nikmat itu sebagai ladang ketaatan kepada-Nya. Pada hakikatnya syukur itu merupakan perwujudan sikap sabar ketika manusia mendapat nikmat.
Mengapa kita harus bersabar ketika mendapatkan nikmat? Karena, karunia nikmat itu justru akan menggelincirkan manusia ke dalam kekhilafan dan memperturutkan hawa nafsu. Betapa banyak orang yang mampu bersabar ketika diberikan ujian, tapi tak mampu bersabar ketika diberi kenikmatan.
Ketika sang suami datang, ia pun segera menyantap hidangan yang telah dipersiapkan dengan lahapnya. "Bagaimana keadaan anak kita sekarang?" tanya suaminya. "Alhamdulillah, sejak sakitnya itu tidak pernah setenang malam ini," jawab Ummu Sulaim.
Sementara itu, Ummu Sulaim menghias diri dengan memakai pakaian terindah yang dimilikinya, agar sang suami timbul hasratnya. Tak lama setelah sang suami menggauli dan memuaskan hajatnya, Ummu Sulaim mulai bertanya, "Apakah Kanda tidak merasa heran dengan tetangga-tetangga kita itu?"
"Mengapa mereka?" tanya suaminya."Mereka itu diberi pinjaman, tetapi setelah diminta kembali, tiba-tiba mereka menyatakan kedukacitaan yang luar biasa," jawab Ummu Suliam."Buruk sekali kelakukan mereka itu," ujar suaminya.Ketika itulah ia memberitahukan apa sebenarnya yang terjadi terhadap anaknya. "Kanda," ujarnya. "Bukankah anak kita itu hanya pinjaman dari Allah? dan kini Allah telah memanggilnya kembali".
Setelah mendengar perkataan istrinya tersebut, sang suami pun sadar akan apa yang terjadi. "Alhamdulillah, inna lillahi wa inna ilaihi raaji'uun," ujarnya penuh ketabahan. Keesokan harinya, pagi-pagi benar suaminya pergi ke tempat Rasulullah SAW dan memberitahukan kejadian tersebut. Rasul pun berdoa untuk keluarga itu, "Ya Allah, berilah keberkahan untuk kedua suami istri itu pada malam harinya tadi".
Dalam kisah lain diceritakan bagaimana sedihnya Nabi Ya'kub ketika mendengar anaknya, Yusuf meninggal, hingga dikisahkan bagaimana matanya menjadi putih (QS. Yusuf: 84). Dan kesedihan itu semakin bertambah ketika anaknya yang lain Bunyamin ditahan pemerintah Mesir. Namun, apa yang dikatakan Nabi Ya'kub ketika itu? "Fa shabrun jamiil" (QS. Yusuf: 83). Sabar itu indah!
Jadi, kemampuan merasakan nikmatnya sabar terletak pada seberapa besar mutu pengakuan akan adanya takdir dan kemahakuasaan Allah SWT. Seseorang bisa sabar - seperti yang dilakukan Ummu Sulaim dan suaminya - bila ia mampu meyakini bahwa semua yang terjadi karena izin Allah dan meyakini bahwa Allah tidak akan mendzalimi hamba-Nya.
Sa'ad bin Jubair memberikan contoh tentang seorang budak belian yang dipukul dengan cambuk. Namun sikap budak tersebut seolah-olah mencerminkan makna firman-Nya, Inna lillahi Sesungguhnya kami hanya milik Allah semata. Jadi, ia mengakui bahwa dirinya adalah kepunyaan Allah yang bebas dipergunakan dan diapakan saja oleh Allah.
Sedangkan harapannya akan pahala dikarenakan musibah tersebut seakan merupakan makna dari firman-Nya, Wa inna ilaihi raaji'uun Dan kepada-Nya kita kembali. Oleh karena itu, tidak mengherankan ketika Abu Bakar As-Siddiq jatuh sakit, dan para sahabat yang menjenguknya bertanya, "Saudaraku, tidakkah sebaiknya kami panggilkan saja tabib?". Abu Bakar menjawab, "Sudah, tabib sudah memeriksaku". "Apa yang dikatakannya?" tanya mereka. Abu Bakar menjawab, "Dia katakan, 'Aku Maha Berbuat terhadap apa yang Aku kehendaki !".
Dengan demikian, syarat mutlak orang bisa bersabar adalah ketika ditimpa sesuatu, pikirannya langsung tertuju hanya kepada Allah SWT. Inilah kunci terpenting yang harus dimiliki siapa saja yang ingin menjadi ahli sabar.
Karena itu, keindahan dan keluhuran pribadi seseorang dapat dilihat dari sejauh mana ia pandai bersabar. Semakin seseorang mampu bersabar, niscaya akan semakin indah pula akhlaknya. Jaminan Allah pun demikian luar biasa bagi ahli sabar. "Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas!" (QS. Az-Zumar:10).
"Dan berikanlah kabar gembira pada orang-orang yang sabar, yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata, 'Inna lillaahi wa inna ilahi raaji'uun'. Mereka itulah orang-orang yang mendapat rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk". (QS. Al-Baqarah:155-157). Wallahu a'lam bish-shawab
Galih Gumelar Center - Kehormatan dan kemuliaan yang sebenarnya adalah ketika hati kita bebas dari bergantung kepada selain Allah SWT. Perjuangan kita untuk menjaga harga diri dari meminta-minta kepada selain Allah adalah bukti kemuliaan kita. Jiwa mandiri adalah kunci harga diri.
Segera setelah berhijrah ke Madinah, Rasulullah SAW mempersaudarakan orang-orang Anshar dan Muhajirin. Ada satu kisah menarik yang terjadi ketika Rasulullah SAW mempersaudarakan Abdurrahman bin Auf dengan Sa'ad bin Rabi--orang paling kaya dari golongan Anshar.
Ketika itu Sa'ad berkata kepada Abdurrahman: "Saudaraku, aku adalah penduduk Madinah yang kaya raya, silakan pilih separuh hartaku dan ambillah! Dan aku mempunyai dua orang isteri, coba perhatikan mana yang lebih menarik perhatian anda, akan kuceraikan ia hingga anda dapat memperistrinya.
Jawab Abdurrahman bin 'Auf: "Semoga Allah memberkati anda, juga isteri dan harta anda! Tunjukkanlah letaknya pasar agar aku dapat berniaga....! Abdurrahman pergi ke pasar, dan berjualbelilah di sana.......
Hingga suatu ketika Rasul menyapanya, "Bagaimana keadaanmu sekarang, wahai Abdurrahman?" Ia pun menjawab, "Ya Rasulullah, saya sudah menikah dan maharnya saya bayar dengan emas. SAHABAT, kita sangat layak untuk meneladani sikap yang ditunjukkan Abdurrahman bin Auf di atas. Itulah kemandirian yang berakar dari terjaganya harga diri. Sebuah sikap terpuji yang mulai hilang dalam kehidupan masyarakat kita.
Sudah menjadi keniscayaan, jika kita bersandar kepada selain Allah, pasti kita akan takut kalau sandaran itu diambil orang. Tapi bila kita bergantung kepada Allah SWT, maka tak ada sedikitpun keraguan dan kecemasan yang akan menghampiri. Allah tidak akan mengabaikan orang yang bersungguh-sungguh berharap kepada-Nya. Dalam sebuah hadis qudsi disebutkan, "Apabila seorang hamba-Ku mendekati-Ku dengan berjalan, maka Aku akan mendekatinya dengan berlari. Apabila ia mendekati-Ku satu jengkal, maka Aku akan mendekatinya satu hasta".
Jiwa mandiri adalah kunci harga diri. Selain akan merdeka dalam hidupnya, orang yang mandiri akan lebih rasa percaya diri, sehingga bisa melakukan pekerjaan lebih banyak, ucapannya lebih bermakna, dan waktunya akan lebih efektif. Karena itu, perjuangan kita untuk menjaga harga diri dengan tidak meminta-minta kepada selain Allah adalah bukti kemuliaan sejati.
Tapi kenapa ada orang yang begitu "tega" menggadaikan harga dirinya demi harta duniawi yang sedikit? Ataupun--dalam skala luas--kenapa bangsa kita yang demikian kaya harus mengemis minta bantuan negara lain? Jawabnya, kita terlalu menganggap topeng dunia sebagai sumber harga diri. Sebagian besar kita terlalu sibuk membangun aksesoris duniawi, tanpa disertai kesibukan membangun harga diri. Tak mengherankan apabila ada orang yang jabatannya tinggi tapi perbuatannya rendah. Atau ada yang hartanya banyak, tapi jiwanya miskin.
KITA harus mulai bangkit menjadi manusia-manusia berjiwa mandiri. Ada beberapa cara yang bisa kita lakukan. Pertama, tekadkan dalam diri untuk menjadi orang yang mandiri. Dalam hidup yang hanya sekali ini, kita harus terhormat dan jangan menjadi budak dari apapun selain Allah SWT. Tekadkan terus untuk selalu menjaga kehormatan diri dan pantang menjadi beban. Andai pun hidup kita membebani orang lain, kita harus berusaha membalas dengan apa-apa yang bisa kita lakukan. Ketika kita membebani orangtua, maka harga diri kita adalah membalas kebaikan mereka. Begitupun kepada guru, teman, atau tetangga. Jangan sampai diri kita terhina karena menjadi benalu dan peminta-minta yang hanya menyusahkan orang lain.
Kedua, berani memulai. Hanya dengan keberanian orang bisa bangkit untuk mandiri. Tidak pernah kita berada di atas tanpa terlebih dahulu memulai dari bawah. Adalah mimpi menginginkan hidup sukses tanpa mau bersusah payah terlebih dulu.
Sungguh, dunia ini hanyalah milik para pemberani. Kesuksesan, kebahagiaan, dan kehormatan sejati hanyalah milik pemberani. Orang pengecut tidak akan pernah mendapatkan apa-apa karena ia melumpuhkan kekuatannya sendiri. Kejarlah dunia ini dengan keberanian. Lawanlah ketakutan dengan keberanian. Takut gelap, berjalanlah di tempat gelap. Takut berenang, segeralah menceburkan diri ke air. Semakin kita mampu melawan rasa takut, rasa malas, dan rasa tidak berdaya, maka akan semakin dekat pula keberhasilan itu dengan diri kita. Memang, segala sesuatu ada resikonya. Tapi inilah harga yang harus kita bayar dalam mengarungi hidup. Kalau kita tidak mau membayar harganya, kita pasti akan tersisih.
Ketiga, nikmatilah proses. Segalanya tidak ada yang instan, semua membutuhkan proses. Keterpurukan yang menimpa negeri kita, salah satu sebabnya karena kita ingin segera mendapatkan hasil. Padahal, tidak mungkin ada hasil tanpa memperjuangkannya terlebih dahulu.
Kita harus mau belajar menikmati proses perjuangan, menikmati tetesan keringat dan air mata. Dengan perjuangan nilai kehormatan yang sesungguhnya bisa terwujud. Kita jangan terlalu memikirkan hasil. Tugas kita adalah melakukan yang terbaik. Allah tidak akan memandang hasil yang kita raih, tapi Ia akan memandang kegigihan kita dalam berproses.
Kita tidak tahu kapan negeri ini akan bangkit. Tetapi bagaimana pun kita harus memulai dengan sesuatu. Ingatlah selalu kisah seorang kakek yang dengan semangat menanam pohon kurma. Ketika ditanya untuk apa ia melakukan semua itu, maka ia menjawab, "Bukankah kita makan kurma sekarang karena jasa orang-orang yang sudah meninggal. Kenapa kita tidak mewariskan sesuatu untuk generasi sesudah kita?".
Namun, jangan sampai kegigihan dan kemandirian kita mendatangkan rasa ujub akan kemampuan diri. Kemandirian yang sejati seharusnya membuat kita tawadhu, rendah hati. Sertailah kegigihan kita untuk mandiri dengan sikap tawadhu dan tawakal kepada Allah SWT.Jadi, kemandirian bukan untuk berbangga diri, tapi harus membuat kita lebih memiliki harga diri, bisa berprestasi, dan tidak membuat kita tinggi hati. Wallahua'lam.
Janganlah sekali-kali engkau menuntut ilmu dengan maksud untuk bermegah-megah, menyombongkan diri, berbantah-bantahan, menandingi, dan mengalahkan orang lain (lawan bicara), atau supaya orang mengagumimu.
MAHABESAR Allah yang dengan ilmu-Nya telah membuat jagat raya beserta isinya tercipta. Betapa Ia menciptakan segala yang dikehendakinya itu cukup dengan jadilah; "kun fayakun!"
Sepintar apapun manusia, ia begitu kecil di hadapan Allah. Ilmu yang dimilikinya hanyalah setetes kecil saja dari samudera ilmu yang Allah miliki. Dalam QS. Lukman: 27, Allah SWT berfirman, "Dan seandainya pohon-pohon dijadikan pena dan laut (dijadikan) tinta, ditambah kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat (ilmu dan hikmah) Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana".
Karena itu, alangkah tidak pantasnya bila seseorang menjadi ujub dan takabur, karena ilmu yang dimilikinya. Mestinya, semakin tinggi ilmu maka semakin bertambah pula rasa takjub dan takutnya kepada Allah.
Seseorang menjadi ujub, riya, dan takabur dengan ilmunya - apalagi bila digunakan untuk membuat kerusakan dan kemudharatan di muka bumi, tiada lain karena ilmu yang dimilikinya itu tidak mengandung hikmah dan manfaat. Maka pantaslah kalau Rasulullah SAW memohon, "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat".
LALU seperti apakah ilmu yang bermanfaat itu? Suatu ketika Allah SWT memberi wahyu kepada Nabi Daud, "Wahai Daud, pelajarilah olehmu ilmu yang bermanfaat".
"Ya, Allah, apakah ilmu yang bermanfaat itu?" tanya Daud. "Ialah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui keluhuran, keagungan, kebesaran, dan kesempurnaan kekuasaan-Ku atas segala sesuatu. Inilah yang mendekatkan engkau kepada-Ku".
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ar-Rabi'i Rasulullah SAW bersabda, "Tuntutlah ilmu. Sesungguhnya menuntut ilmu adalah pendekatan diri kepada Allah Azza wa Jalla, sedangkan mengajarkannya pada orang yang tidak mengetahuinya adalah sedekah. Sesungguhnya ilmu pengetahuan menempatkan orangnya dalam kedudukan terhormat dan mulia. Ilmu pengetahuan adalah keindahan bagi ahlinya di dunia dan akhirat".
Sahabat, ternyata ilmu yang bermanfaat itu adalah ilmu yang menyebabkan kita makin mengenal dan dekat dengan Allah SWT. Ilmu apapun, sekiranya dapat membuat kita semakin dekat dan semakin kagum akan kebesaran-Nya, maka itulah ilmu yang bermanfaat.
Ilmu yang bisa menjadi jalan taat kepada Allah akan membuat seseorang menjadi tawadhu dan rendah hati di hadapan orang lain. Ibarat padi, semakin berisi semakin merunduk. Maka semakin bertambah ilmu seseorang, akan semakin bersih pula hatinya dari penyakit tercela. Ia akan terpelihara dari sikap ujub, riya, takabur, dengki, dan memandang rendah orang lain.
Dengan ilmu itu pula, ia akan menjadi jalan bagi sebesar-besarnya kemaslahatan dan kemanfaatan semua orang. Keberadaannya bagaikan cahaya penerang dalam kegelapan. Menjadi petunjuk bagi orang yang tersesat jalannya. Orang-orang di sekelilingnya akan merasa tenang dan tenteram atas kehadirannya. Allah sendiri telah berjanji dalam Alquran, "_Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan" (QS. Al-Mujaadilah: 11).
BAGAIMANA caranya agar kita bisa mendapatkan ilmu yang bermanfaat tersebut? Hal pertama dan utama adalah keikhlasan ketika mencarinya. Dalam kitab Bidayatul Hidayah, Imam Al-Ghazali menulis,
"Wahai hamba Allah yang rajin menuntut ilmu. Jika kalian menuntut ilmu, maka niatkanlah dengan ikhlas karena Allah semata. Di samping itu, juga dengan niat karena melaksanakan kewajiban karena menuntut ilmu wajib hukumnya, sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW, 'Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim laki-laki maupun perempuan' (HR. Ibnu Abdul Barr).
Janganlah sekali-kali engkau menuntut ilmu dengan maksud untuk bermegah-megahan, menyombongkan diri, berbantah-bantahan, menandingi, dan mengalahkan orang lain (lawan bicara), atau supaya orang mengagumimu. Jangan pula engkau menuntut ilmu untuk dijadikan sarana mengumpulkan harta kekayaan duniawi. Yang demikian itu akan merusak agama dan mudah membinasakan dirimu sendiri.
Rasulullah yang mulia melarang hal seperti itu dengan sabdanya, 'Barangsiapa menuntut ilmu yang biasanya ditujukan untuk mencari keridhaan Allah, tiba-tiba ia tidak mempelajarinya, kecuali hanya untuk mendapatkan harta duniawi, maka ia tidak akan memperoleh bau harumnya syurga pada hari kiamat' (HR. Abu Dawud).
Dalam hadis lain beliau bersabda, 'Janganlah kalian menuntut imu untuk membanggakannya terhadap para ulama dan untuk diperdebatkan di kalangan orang bodoh dan buruk perangainya. Jangan pula menuntut imu untuk penampilan dalam majelis dan untuk menarik perhatian orang-orang kepadamu. Barangsiapa seperti itu, maka baginya neraka' (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).
'Seorang alim apabila menghendaki dengan ilmunya keridhaan Allah, maka ia akan ditakuti segalanya. Akan tetapi, jika ia bermaksud untuk menumpuk harta, maka ia akan takut dari segala sesuatu,' demikian sabda Rasulullah SAW dalam riwayat lain (HR. Ad-Dailami)".
SAHABAT. Kita harus menggunakan waktu yang sangat singkat ini untuk mencari ilmu yang bermanfaat bagi agama maupun bagi diri dan lingkungan kita. Sekali lagi, ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang dapat menambah ketakwaan dan pengenalan kita pada Allah SWT.
Ilmu yang bisa menambah kemampuan kita untuk melihat cacat serta kekuarangan diri. Ilmu yang dapat mengurangi kegilaan kita pada duniawi, dan menambah kecintaan kita pada kampung akhirat yang kekal. Juga, ilmu yang dapat membuka mata dan hati terhadap semua hal yang bisa merusak amal ibadah kita. Wallahu a'lam bish-showab.
Galih Gumelar Center - Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkarinya, maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam (QS. Ali Imran: 97). SETIAP orang yang berusaha taat menjalankan perintah Allah, pasti menginginkan bisa menunaikan ibadah haji ke Baitullah.
Siapapun dia, kaya atau miskin. Tetapi, tak jarang pula orang yang telah dicukupkan hartanya dan diberi nikmat sehat, sering menunda-nunda kewajiban tersebut dengan berbagai alasan. Sementara, sebagian orang belum mampu berangkat haji karena masalah uang. Sahabat, perkara haji sama sekali bukan perkara ada tidaknya uang.
Betapa banyak orang yang dititipi harta melimpah, tapi tetap saja ia tidak bisa berangkat haji. Tak sedikit di antara mereka pulang-pergi ke luar negeri, namun toh tetap tidak pernah sampai ke Tanah Suci. Mengapa demikian? Seseorang bisa menunaikan ibadah haji apabila telah di "diundang" oleh Allah Yang Mahakaya. Allah mengundang hamba-Nya disebabkan karena dua hal.
Ada yang diundang karena niatnya baik, dan ada pula yang diundang karena niatnya jelek. Ada yang membedakan antara dua kelompok orang ini yaitu setelah kepulangannya dari Tanah Suci. Yang pertama akan menyandang gelar haji mabrur dan yang kedua menyandang gelar haji mardud. Apa yang menyebabkan haji seseorang itu mabrur atau mardud? Penyebab utamanya adalah faktor niat.
Bila seseorang pergi haji karena ingin mendapatkan titel haji agar terlihat lebih bonafid, misalnya, maka niat seperti ini hanya akan menjerumuskan diri pada kesia-siaan. Ibadah haji adalah panggilan hati dan kewajiban setiap Muslim. Bahkan, dapat dianggap hutang bila belum ditunaikan. Alangkah indahnya andai sebelum mati, kita bisa menyempurnakan keislaman kita, hingga Allah pun berkenan menyempurnakan karunia nikmatnya pada kita.
Motivasi kedua adalah ingin menghapus segala dosa. Sebesar apapun dosa seseorang, insya Allah akan terhapuskan bila hajinya diterima. Bila kita sudah memiliki keyakinan seperti ini, sebesar apapun biaya yang harus dikeluarkan untuk ibadah haji, maka akan terasa kecil nilainya dibandingkan dengan hikmah dan manfaat yang diperoleh. Bukankah uang yang kita keluarkan itu hakikatnya milik Allah juga?
Yang ketiga adalah jaminan dari Allah dan Rasul-Nya bahwa tiada balasan yang lebih pantas bagi haji mabrur, kecuali surga! Barangsiapa yakin dengan janji ini, niscaya nilai harta yang dikeluarkan terlalu murah bila dibandingkan dengan pahala yang akan didapat. Betapa tidak! Sudah dosa diampuni, mendapat jaminan syurga, semua biaya yang telah dikeluarkan pun akan diganti dengan berlipat ganda ketika di dunia ini juga.
Tidak ada orang yang pulang dari Tanah Suci dan diterima hajinya, lantas jauh miskin. Sebaliknya, Allah SWT akan memudahkan ia dalam mendapatkan rezeki. Jadi, tidak ada yang paling merugi di dunia ini, kecuali orang yang tidak mau berhaji padahal ia mampu. Bagaimana caranya agar Allah SWT berkenan mengundang kita ke rumah-Nya? Seseorang yang mencintai sahabatnya, pasti mau berbuat apa saja bagi sahabatnya tersebut.
Mungkin, suatu saat ia akan mengundang sang teman ke rumahnya. Andaikan sahabatnya tersebut tidak mempunyai ongkos, ia akan memberinya ongkos bahkan menjemputnya. Semakin dia mencintai sahabatnya, maka akan semakin senang dan ikhlas pula ia menjamunya. Demikian pula bila kita ingin diundang oleh Allah.
Jadilah orang yang dicintai-Nya. Bila kita sudah dicintai Allah, maka Allah-lah yang akan memudahkan kita agar dapat menghadap-Nya. Kuncinya, amalkan semua perbuatan yang disukai Allah. Ternyata amalan pertama yang paling disukai Allah adalah shalat tepat waktu. Syarat ini terlihat begitu sederhana.
Tapi, bila kita mampu istiqamah menjaganya, insya Allah doa kita akan mustajab. Amalan kedua adalah shalat tahajud disepertiga malam terakhir. Kedudukan shalat sunnat yang satu ini begitu istimewa, bahkan perintahnya beriringan dengan perintah shalat yang lima waktu (QS. Al-Israa: 78).
Waktu pelaksanaannya pun menjadi saat yang sangat istimewa bagi diijabahnya doa-doa. Semakin kita gemar membiasakan diri shalat tahajud, maka akan semakin mudah pula kita meraih semua yang dicita-citakan, termasuk menunaikan ibadah haji. Amalan selanjutnya adalah birul walidain; memuliakan orangtua. Demi Allah, inilah kunci utama yang dapat membuka selapang-lapangnya keridhaan Allah dan menjadikan pengamalnya meraih kemuliaan dunia akhirat.
Allah SWT berfirman, Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu (QS. Lukman: 14).
Termasuk ke dalam birul walidain ini adalah mendidik anak-anak kita agar menjadi insan-insan shalih yang akan menyelamatkan kita dari adzab neraka--baik dunia maupun akhirat. Amalan keempat yang disukai Allah adalah sedekah. Siapa saja yang ingin cita-citanya terkabul, hendaklah ia gemar bersedekah.
Bersedekah dengan ikhlas, tidak hanya membuat doa-doa kita mustajab, tetapi akan melahirkan pula kebaikan-kebaikan lainnya. Bersedekah tidak harus selalu dengan uang, senyuman yang tulus termasuk pula sedekah. Barangsiapa yang ingin dibahagiakan Allah, maka bahagiakanlah orang lain.
Barangsiapa ingin ditolong Allah, maka tolonglah orang lain. Barangsiapa ingin dimudahkan urusannya oleh Allah, maka mudahkanlah urusan orang lain. Pendek kata, begitu banyak peluang untuk menjadi hamba yang disukai Allah. Kita ini milik Allah, begitupun harta yang kita miliki.
Sebanyak apapun harta yang kita belanjakan di jalan Allah, pasti Ia akan mengganti harta yang kita belanjakan tersebut dengan yang lebih banyak dan berkah. Karena itu tak heran bila Rasulullah SAW selalu melepas orang yang berhaji dengan sebuah doa, "Semoga Allah menerima hajimu, mengampuni dosamu, dan mengganti biaya-biayamu" (HR. Ad-Dainuri). Jadi, apalagi yang kita cemaskan dari janji-janji Allah tersebut?
Galih Gumelar Center - ALLAH SWT adalah dzat yang Mahabesar dan hanya Dia-lah yang berhak menyatakan kebesaran Diri-Nya. Adapun segenap makhluk ciptaan-Nya adalah teramat kecil dan sama sekali tidak layak merasa diri besar. Seorang hamba yang lisannya berucap, "Allaahu Akbar!" serasa jiwanya bergetar karena sadar akan kemahabesaran-Nya, dialah orang yang menyadari kekerdilan dirinya di hadapan Dzat yang serba Maha.
Sungguh, Allah sangat suka terhadap orang yang merendahkan diri di hadapan-Nya, sehingga diangkatlah derajat kemuliannya ke tingkat yang sangat tinggi di hadapan semua makhluk, apalagi di hadapan-Nya. "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk" (QS. Al-Bayyinah: 7).
Sebaliknya betapa Allah sangat murka terhadap orang-orang yang menyombongkan diri di muka bumi. Allah berfirman, "Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri." (QS. An-Nisa: 36). Syurga pun mengharamkan dirinya untuk dimasuki oleh orang-orang yang di dalam kalbunya terdapat kesombongan walaupun hanya sebesar debu.
Segenap makhluk yang ada di alam semesta ini tiada memiliki daya dan upaya, kecuali karena karunia kekuatan dari Allah SWT? Laa haula walla quwwata illa billaah! yang menciptakan tubuh ini pun Allah. Yang mengalirkan darah dalam peredaran yang sempurna, yang mendetakkan jantung, pendek kata yang mengurus sekujur badan ini pun hanya Allah semata! Manusia sama sekali tidak berdaya sekiranya Allah menghendaki sesuatu atas jiwa dan raga ini.
Karena itu, Allah SWT mengancam manusia yang melupakan hakikat dirinya. "Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi ini tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku" (QS. Al-A'raf: 146). Dalam ayat lain disebutkan, "Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang" (QS. Al-Mu'min: 35).
Ternyata rahasia hidup sukses atau sebaliknya hidup terhina dan tiada harga, tidak terlepas dari seberapa mampu seseorang menempatkan dirinya sendiri di hadapan Allah SWT. Tawadhu, inilah kunci bagi siapa saja yang ingin memiliki pribadi unggul.
Seseorang niscaya akan lebih cepat maju manakala mempunyai sifat tawadhu dan tidak sombong. Mengapa demikian? Kunci terpenting untuk sukses adalah adanya kesanggupan menyerap ilmu dan meluaskan visi, kemampuan mendengar dan menimba ilmu dari orang lain. Hal ini akan membuat kita semakin cepat melesat dibandingkan dengan orang-orang yang sombong, merasa pandai sendiri, mengganggap cukup dengan ilmu yang dimilikinya, sehingga merasa diri tidak lagi membutuhkan pendapat, pandangan, dan visi dari orang lain.
Ketahuilah, kita ini adalah makhluk yang serba terbatas. Buktinya, kita tidak bisa melihat kotoran di mata atau hidung sendiri. Artinya, kita membutuhkan cermin dan alat bantu lainnya agar bisa menguji semua yang kita miliki ataupun melengkapi sesuatu yang belum kita miliki.
Islam mengajarkan kita agar tidak sombong. Kita harus berani mendengarkan segala sesuatu dari orang lain. Kita tidak dilarang untuk punya pendapat, tetapi orang lain pun tidak salah jika memiliki pendapat berbeda. Kita harus bersedia mendengarkannya, paling tidak untuk menguji pendapat kita apakah bisa dipertahankan atau tidak. Atau, bahkan untuk melengkapi pendapat kita, sehingga semakin bermutu.
Karenanya, berhati-hatilah dengan segala yang berbau kesombongan, merasa diri hebat, pemborong syurga, paling benar, paling mampu. Semua itu hanya akan mengurangi kemampuan yang ada pada diri kita. Sesungguhnya kesombongan itu akan menutup hal yang sangat fitrah dari diri manusia yaitu kemampuan melengkapi diri.
Kita harus menjadi orang yang tamak terhadap ilmu, serakah terhadap pengalaman dan wawasan. Tiap bertemu dengan orang, lihatlah kelebihannya, simaklah kemampuannya, lalu ambillah kelebihannya itu. Tentu ini tidak akan menjadikan orang tersebut bangkrut dan tidak memiliki kelebihan lagi. Sebaliknya, kemampuan orang yang kita mintai ilmunya akan semakin berkembang selain kita pun akan semakin maju.
Tidak mungkin kita ditakdirkan bertemu dengan seseorang, kecuali pasti akan menjadi ilmu dan pengalaman baru, sekiranya diri kita dilengkapi dengan hati yang bersih. Tentu yang bisa menjadi ilmu itu tidak sekedar hal-hal yang menyenangkan saja. Aneka pengalaman yang tidak menyenangkan, seperti penghinaan, kritik atau cemoohan, semua ini tetap menjadi ilmu yang akan meningkatkan wawasan, kemampuan, karakter, mental ataupun keunggulan-keunggulan lain yang bakatnya sudah kita miliki.
Adapun hal yang sangat utama dan paling menentukan bobot dari semua perilaku dan kiprah kita dalam meningkatkan kualitas dan keunggulan diri adalah hati yang bersih. Kedongkolan, kemangkelan, kejengkelan, kebencian, dan semua hal yang bisa membuat tidak nyamannya hati, jelas-jelas merupakan sikap kejiwaan yang kontraproduktif.
Kita akan banyak kehilangan waktu karena kotor hati. Kalau kita termasuk tipe pemarah serta gemar memuaskan hawa nafsu dan kedendaman, maka kita akan kehilangan waktu untuk kreatif dan produktif. Akan tetapi, sekiranya hati kita bersih dan sejuk, maka kendatipun hantaman masalah dan kesulitan datang bertubi-tubi, niscaya kita akan seperti intan yang tiada pernah hilang kilauannya sepanjang masa. Bukankah intan itu tidak akan pernah hancur wujudnya dan berkurang kilauannya kendati dihantam dengan batu bata secara bertubi-tubi, bahkan dia sendiri yang akan hancur? Kesejukan, kebersihan, dan ketentraman hati, tidak bisa tidak, akan mempengaruhi pikiran ini menjadi lebih lebih bermanfaat dan bermakna.
Tampaknya umat Islam akan bangkit bila mampu bersinergis, saling membantu satu sama lain. Kuncinya adalah bebasnya hati dari kedengkian, dan kebusukan. Kita harus belajar senang melihat orang lain maju. Kita pun harus belajar ikut bersyukur melihat kesuksesan dan prestasi orang lain seraya membuat kita terbakar untuk bisa lebih maju lagi. Wallahu a'lam.