Diposting oleh
Galih Gumelar Center
On
12.46
Galih Gumelar - Suatu ketika Iskandar Agung berjalan-jalan untuk melihat kehidupan rakyatnya. Setiap ia lewat di kampung atau kota, seluruh penduduk membungkukkan kepalanya sebagai tanda hormat. Namun di suatu kota, ada seorang laki-laki yang enggan menundukkan kepalanya ketika sang pemimpin agung itu lewat. Lelaki itu menarik perhatiannya, siapakah dia. Untuk itu, ia menyuruh pengawalnya menghadirkannya ke istana.
''Mengapa kau tidak memberi hormat kepadaku,'' tanya Iskandar Agung kepada lelaki tua yang telah hadir di hadapannya. ''Ya, mengapa aku harus menghormati Tuan, padahal Tuan salah seorang pelayanku,'' jawab pak Tua seenaknya. Iskandar Agung berang mendengar jawabannya. ''Apakah kau sudah gila, berani mengatakan itu di hadapanku?'' bentaknya.
Pak Tua bukannya takut dengan hardikan Iskandar Agung. Bahkan dengan suara lantang ia berkata, ''Meski Tuan mengaku sebagai pemimpin, pada hakekatnya Tuan hanyalah budak, budak yang telah dikuasai oleh hawa nafsu dan amarah. Sedang aku telah mengalahkan keduanya.''
Kisah di atas mengisyaratkan bahwa orang merdeka (bukan budak) adalah yang dapat mengendalikan keinginan hawa nafsu dan amarahnya. Dia lebih mulia dari orang yang kaya harta tetapi terjajah hawa nafsu dan amarahnya. Orang yang mampu mengendalikan nafsunya juga disebut oleh Nabi Muhammad sebagai orang bijak.
Kemerdekaan jiwa dapat dicapai ketika seorang mensucikan dirinya (tazkiyatun nafs) dari hawa nafsu yang selalu mendorongnya melakukan perbuatan menyimpang dari asas perikemanusiaan adil dan beradab. Jika seseorang atau suatu bangsa telah memiliki kesucian diri, boleh dikata mereka telah merdeka. Suatu bangsa yang memiliki kesucian diri dari kesalahan amal akan mampu mengatasi segala kekuatan yang mengancam kemerdekaan bangsanya.
Orang-orang bijak mengatakan, ''Merdekakanlah dirimu dari segala jeratan dunia yang bukan hakmu. Engkau tak akan mampu menguasai sesuatu yang bukan hakmu.'' Allah SWT berfirman, ''Sungguh amat beruntung orang yang mampu memerdekakan dirinya.'' (Q. S. 87: 14).
|
Diposting oleh
Galih Gumelar Center
On
12.40
Galih Gumelar - Umat Islam Indonesia yang menunaikan ibadat haji tiap tahun begitu membludak, sampai melebihi daya tampung salah satu tempat pelaksanaan ibadat itu, yaitu Mina. Timbul pertanyaan, mengapa minat masyarakat begitu besar. Jawabannya, ditinjau dari sudut agama, paling kurang dua hal.
Pertama, ketakwaan umat makin meningkat. Tetapi terdengar kritik, mengapa korupsi juga semakin menggila. Untuk menerangkan fenomena itu, sabda Nabi ketika ditanya tentang seorang pemuda yang rajin salat tetapi berzina juga, dapat dianalogkan, Salatnya akan mencegahnya (dari berzina itu)! Ternyata pemuda itu memang bertobat tidak lama kemudian. Berarti bahwa korupsi itu pada suatu saat akan hilang, paling sedikit akan terus berkurang.
Kedua, daya tarik Tanah Suci (Makkah dan Madinah). Daya tarik itu paling kurang dua hal pula, menurut yang dipahami dari Alquran. Pertama, Tanah suci itu relatif aman. Allah pernah membantah alasan sebagian kaum musyrikin, bahwa jika mereka masuk Islam mereka akan diculik (dirampok, dibunuh, dsb), dengan mengemukakan pertanyaan bantahan, Bukankah Kami telah meneguhkan bagi mereka Tanah Suci itu aman, ke sana didatangkan persembahan segala macam buah-buahan sebagai rezeki pemberian kami? (Q.S. 28:57). Kebiasaan culik-menculik dan bunuh-membunuh di zaman jahiliah memang kenyataan, tetapi itu tidak mungkin terjadi di Tanah Suci, karena semua suku Arab menghormatinya.
Ayat itu diperptegas lagi oleh ayat lain, Tiadakah mereka lihat bahwa Kami telah membuat Tanah Suci itu aman, sedang orang culik menculik di sekitarnya? Maka apakah mereka percaya kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah? (Q.S. 29:67). Sekalipun Ka'bah pernah rusak dihantam peluru pada zaman Khalifah Yazid bin Mu'awiyah, Tanah Suci relatif aman. Bahkan keamanan itu dapat dilihat pada kawasan Saudi Arabia pada umumnya sampai sekarang, dibanding kawasan-kawasan sekelilingnya.
Kedua, adanya keistimewaan pada Masjidil Haram dan Ka'bah sendiri. Masjidil Haram, di samping istimewa dengan besarnya nilai ibadah yang dikerjakan di dalamnya, paling kurang istimewa pula karena menjadi kiblat, yaitu titik pusat ibadat. Sebagaimana diketahui kiblat sebelumnya adalah Masjidil Aqsa. Enam bulan lamanya Nabi berdoa kepada Tuhan untuk menunjukkan kiblat yang sebenarnya itu.
Dan mengenai Ka'bah, Allah melukiskannya sebagai al-Bayt al- 'Atiq, yaitu rumah ibadat yang antik dan agung. Keantikannya kembali ke zaman Nabi Ibrahim yang mendirikannya jauh sebelum agama-agama besar (Yahudi, Nasrani, dan Islam) ini ada. Dan keagungannya kiranya dapat terlukis dari sabda Nabi menyapanya dalam tawaf beliau, Betapa tinggi kebesaranmu, betapa agung martabatmu, namun martabat seorang muslim lebih tinggi dari martabatmu itu. Ketinggian martabat Ka'bah adalah bahwa doa akan dikabulkan di sisinya. Dan ketinggian martabat seorang muslim adalah bahwa hak-hak asasinya tidak boleh dilecehkan sedikit pun.
Kepergian seorang muslim ke Tanah Suci, di samping untuk menyempurnakan keislamannya, yaitu mengerjakan rukun Islam kelima, agaknya juga untuk memperoleh damainya Tanah Suci, laba beribadat di dalam Masjidil Haram, dan harapan doanya akan terkabul di bawah naungan martabat Ka'bah yang besar itu.
|
Diposting oleh
Galih Gumelar Center
On
12.35
Galih Gumelar - Bagi jamaah haji yang beruntung masuk Raudah, sudut utama di Masjid Nabawi, ia akan dicekam kerinduan bertemu Rasulullah. Gemuruh salawat yang diiringi tangis bahkan raungan, membuat suasana di ruangan kecil yang diperebutkan itu terasa bertambah magis. Terasa, seakan Rasulullah berada di sampingnya. Tapi apa daya, sang kekasih tidak tampak, kecuali pusaranya yang terhijab di balik dinding beton yang kukuh. Saat meninggalkan Raudah, jamaah berdesakan bahkan saling jepit melewati lorong keluar yang sempit. Gema selawat tambah mengeras. Di sini, biasanya bacaan salawat diucapkan singkat-singkat: ''Salamun 'alaika ya Rasulullah.'' Atau ditambah kata-kata ''Salamun 'alaika ya Faruq, salamun 'alaika ya Aba Bakr,'' menunjuk kepada Umar dan Abu Bakar, dua sahabat dekat Rasulullah yang terbujur di samping beliau.
Pernah seorang jamaah haji bertanya kepada sang kyai pembimbingnya, mengapa Masjid Madinah memberi kesan begitu mendalam. Suara muazin yang mengalun, seakan mengalahkan keindahan gema azan di Masjidil Haram, membuat salat di dalamnya sering lebih khusyuk. Sang kyai menjawab, ''Karena di masjid itu ada kekasihmu yang kau rindukan. Bukankah kau selalu menyebutnya dan hanya pada kesempatan ini engkau bertemu?''
Kerinduan kepada Rasulullah, pesan sang kyai pula, seharusnyalah diciptakan, di mana saja dan kapan saja. Itu pertanda seorang umat Muhammad mencintai Nabi dan ajarannya. Uluk salam dan memberikan penghormatan kepada Nabi, adalah perintah kepada orang beriman, karena Allah dan para malaikat-Nya senantiasa bersalawat untuk Nabi, (QS 33:56).
Bagi kalangan khawasul khawas, kerinduan kepada Rasulullah kerap ditambah dengan keinginan bermimpi ketemu beliau. Dibacanyalah beribu-ribu salawat dengan mengintensifkan seluruh amal ibadah. Keinginan itu sering jadi kenyataan. Bahkan, ''Barangsiapa melihatku dalam mimpi,'' demikian Rasulullah menjamin, ''maka ia seakan melihatku dalam jaga, karena syetan tidak bisa meniru diriku.'' Mimpi jumpa Nabi adalah karunia yang diberikan hanya kepada orang yang telah bersih jiwanya.
Oleh Rasulullah disebutkan, ''Termasuk orang kikir yang tidak bersalawat padaku, saat namaku disebut orang.'' Sebaliknya, yang bersalawat sekali kepadanya, Allah memberinya 10 rahmat dan melenyapkan 10 dosanya. Dalam riwayat Muhammad bin Abdurrahman disebut, Rasulullah bersabda, ''Setiap kali umatku uluk salam kepadaku, sesudah aku tiada, Jibril menyampaikannya kepadaku lalu kujawab: Wa'alaihissalam,'' (Semoga salam, rahmat dan berkah Allah juga tetap kepadanya).
Tanda kerinduan kepada Rasulullah adalah menjalankan seluruh perintahnya. Menghadirkannya secara penuh di hati, seakan beliau selalu hadir di sisi kita. Nilai iman ini melebihi penglihatan fisik, seperti beliau katakan: ''Beruntunglah orang yang melihat aku dan beriman kepadaku. Tapi, beruntunglah, beruntunglah, wahai beruntunglah orang yang meskipun tidak melihatku tapi beriman kepadaku.''
|
Jazzakumullah Khairon Khatsiro. Atas donasi Bapak/Ibu dan pengguna web Untuk Membantu Dakwah Lewat Web ini Semoga Diterima dan Dilipatgandakan oleh Allah SWT. Mari ikutan berdakwah lewat web ini Salurkan rizki anda di DDW(Donasi Dakwah lewat Web) ke: Rek. BCA a/n Galih Gumelar : 658 017 3053 (bisa tranfer antar bank yg online)