Asam lambung dan pepsin masih merupakan faktor agresif penyakit terkait asam. Saat ini, peran infeksi Helicobacter pylori (Hp) merupakan faktor utama di samping faktor asam lambung dalam menyebabkan terjadinya tukak peptik. Dengan begitu banyaknya obat untuk penyakit terkait asam lambung, maka sudah seharusnya pemilihan obat didasarkan pada evidence-based medicine. Hal ini dikemukakan oleh Dr. H. A. Aziz Rani, SpPD-KGEH saat membuka simposium "Evolution in Treating Acid Related Disorder" yang diselenggarakan pada 1 Juni 2002 di Jakarta. Seusai memberikan sambutan, Aziz yang juga menjadi pembicara pertama dalam simposium ini menjelaskan bahwa saat ini telah terjadi pergeseran penyakit yang terkait asam lambung, yaitu penurunan prevalensi tukak lambung dan kanker lambung karena berhasilya terapi eradikasi kombinasi penghambat pompa proton (PPP) dengan dua antibiotik. Tetapi, di lain pihak, prevalensi penyakit tukak non-Hp, penyakit refluks gastro-esofageal (PRGE), kanker esofagus, dan dispepsia non-ulkus makin meningkat.
Namun demikian, obat supresi asam yang kuat dan konsisten masih sangat efektif untuk menyembuhkan dan mencegah kekambuhan serta komplikasi jangka panjang berbagai penyakit gastroduodenal. Asam lambung akan membuat pH dalam lumen sekitar 2-2,5 yang merupakan pH ideal untuk aktivitas enzim pepsin yang mencernakan protein dinding lambung sehingga terjadi erosi atau tukak. Karena penyembuhan, pH lambung harus dipertahankan minimal di atas 3, bahkan untuk penyakit tertentu seperti esofagitis refluks, pH dipertahankan di atas 4. Pada pH di atas 3 secara fisiologi aktivitas pepsin sangat menurun, sedang pada pH di atas 4 aktivitas pepsin hampir tidak ada.
Sebagai pembicara kedua, Prof. DR. Dr. Hernomo Kusumobroto, SpPD-KGEH, menjelaskan bahwa tukak lambung terjadi karena ada peningkatan dalam faktor agresif (asam lambung dan pepsin) dan penurunan faktor defensif (mukosa lambung). Peningkatan faktor agresif ini terjadi di antaranya akibat stimulasi vagus, distensi lambung, serta reaksi mukosa lambung terhadap makanan atau zat kimia. Sedangkan penurunan faktor defensif biasanya diakibatkan oleh meningkatnya pemakaian obat-obatan steroid, asam asetilsalisilat, maupun NSAIDs, kebiasaan merokok, serta kebiasaan minum alkohol. Hernomo juga menjelaskan bahwa peningkatan asam dalam duodenum dapat terjadi akibat jumlah sel parietal yang bertambah banyak, rokok, stres, serta terjadinya infeksi oleh Helicobacter pylori (Hp). Infeksi ini dapat menyebabkan terjadinya gangguan regulasi dan sekresi asam. Selain itu, penularan infeksi HP cukup tinggi. Pada seorang yang positif terinfeksi Hp, risiko pasangan untuk tertular sebesar 68% dan anaknya sebesar 40%. Faktor risiko infeksi Hp di antaranya lahir di negara berkembang, status ekonomi lemah, lingkungan yang padat dan sanitasinya kurang bersih, hidup dalam keluarga besar, adanya bayi di rumah, serta mereka yang sering terpajan dengan isi lambung orang yang terinfeksi Hp (misalnya perawat, ahli endoskopi).
Menurut Hernomo, untuk penyembuhan diperlukan terapi yang sempurna yang memungkinkan eradikasi Hp secara total, serta perlu adanya penekanan asam lambung. Tanpa eradikasi Hp secara total, rekurensi masih bisa terjadi sebesar 25%. Karakteristik Hp sendiri di antaranya kemampuan untuk hidup dalam lingkungan anaerob serta tinggalnya di permukaan mukosa dan gastric pit, tetapi di bawah mukus. Karakteristik inilah yang menyebabkan eradikasi Hp menjadi sulit karena letaknya sangat terlindungi.
Pembicara yang terakhir, Dr. Chudahman Manan, SpPD-KGEH, mengemukakan masalah penyakit refluks gastro-esofageal (PRGE). RGE sebenarnya merupakan suatu keadaan yang fisiologik, tetapi dapat berubah menjadi patologi. Perubahan ini seiring dengan lamanya proses refluks berlangsung dan perubahan mukosa yang terjadi. Bila RGE disertai dengan keluhan yang tipikal seperti heart burn dan regurgitasi maka akan terjadi PRGE. Pada PRGE ditemukan kelainan organik mukosa esofagus dari tingkat yang ringan sampai berat, bahkan dapat berkembang menjadi karsinoma akibat perubahan pada epitel dalam bentuk displasia. Walaupun heart burn merupakan gejala khas PRGE, gejala ini tidak mudah diketahui karena pada umumnya pasien PRGE lebih menunjukkan gejala dispepsia. Gejala lain yang spesifik adalah regurgitasi. Bila pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan tanda yang khas maka dapat dilakukan pemeriksaan penunjang seperti esofagogram, tes Bernstein, gastroskopi, dan biopsi.
Chudahman menjelaskan bahwa pengobatan PRGE harus berdasarkan pada patofisiologi kelainan ini. Peranan asam lambung dan pepsin sebagai penyebab utama merupakan faktor yang harus ditanggulangi dengan baik. Pemilihan obat-obatan yang bersifat anti asam, salah satunya adalah penghambat pompa proton (PPP), merupakan pilihan utama. Kerja PPP yang diharapkan adalah mulai kerja yang cepat dan efek yang berlangsung lama sehingga diperoleh penekanan asam yang adekuat untuk perbaikan klinis.
Secara keseluruhan, ketiga pembicara ini mengungkapkan satu kebutuhan yang sama akan adanya obat yang dapat menekan sekresi asam lambung secara konsisten dan adekuat, dengan efektivitas yang tinggi, komplikasi dan efek samping yang minimal, serta menekankan prinsip cost effective untuk menunjang keberhasilan terapi. Dalam merespons kebutuhan ini, PT AstraZeneca Indonesia mengembangkan generasi baru PPP, yaitu esomeprazole atau Nexium‚. Esomeprazole merupakan penghambat pompa proton pertama yang dikembangkan sebagai isomer optis tunggal yang profil farmakokinetiknya cukup mendekati omeprazole. Keunggulannya adalah ia dapat mengendalikan asam lebih baik dibandingkan penghambat pompa proton racemic lain dan lebih banyak sampai ke sel sasaran. Dari penelitian terbukti bahwa esomeprazole dalam dua belas jam mengontrol sekresi asam lambung sebesar 90%. Ini jauh melebihi rekannya lansoprazole, yaitu sebesar 57%. Selain itu, obat ini mempunyai mula kerja dan efek yang cepat timbul, dapat menekan asam secara konsisten dan kuat, serta dapat digunakan baik untuk profilaksis maupun terapi.
Esomeprazole memiliki bioavailabilitas tinggi, lebih sedikit dimetabolisme di hati, tidak berubah saat melewati sel parietal, klirens sistemik yang rendah, serta penghambatan pompa proton lebih tinggi. Untuk usaha eradikasi Helicobacter pylori, pemberian esomeprazole 20 mg yang dikombinasi dengan klaritromisin 500 mg dan amoksisilin 1000 g selama 1 minggu mencapai angka kesembuhan 90%. Dengan generasi baru ini, penyembuhan maupun pencegahan penyakit terkait asam diharapakan dapat lebih baik lagi. (wenni)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Jazzakumullah Khairon Khatsiro. Atas donasi Bapak/Ibu dan pengguna web Untuk Membantu Dakwah Lewat Web ini Semoga Diterima dan Dilipatgandakan oleh Allah SWT. Mari ikutan berdakwah lewat web ini Salurkan rizki anda di DDW(Donasi Dakwah lewat Web) ke: Rek. BCA a/n Galih Gumelar : 658 017 3053 (bisa tranfer antar bank yg online)
Terima kasih atas penerangan anda mengenai asam lambung. Kebetulan
saya sedang butuh blo semacam ini. Oleh penulis buku 40 Hari Di Tanah Suci.