Siapapun dia, kaya atau miskin. Tetapi, tak jarang pula orang yang telah dicukupkan hartanya dan diberi nikmat sehat, sering menunda-nunda kewajiban tersebut dengan berbagai alasan. Sementara, sebagian orang belum mampu berangkat haji karena masalah uang. Sahabat, perkara haji sama sekali bukan perkara ada tidaknya uang.
Betapa banyak orang yang dititipi harta melimpah, tapi tetap saja ia tidak bisa berangkat haji. Tak sedikit di antara mereka pulang-pergi ke luar negeri, namun toh tetap tidak pernah sampai ke Tanah Suci. Mengapa demikian? Seseorang bisa menunaikan ibadah haji apabila telah di "diundang" oleh Allah Yang Mahakaya. Allah mengundang hamba-Nya disebabkan karena dua hal.
Ada yang diundang karena niatnya baik, dan ada pula yang diundang karena niatnya jelek. Ada yang membedakan antara dua kelompok orang ini yaitu setelah kepulangannya dari Tanah Suci. Yang pertama akan menyandang gelar haji mabrur dan yang kedua menyandang gelar haji mardud. Apa yang menyebabkan haji seseorang itu mabrur atau mardud? Penyebab utamanya adalah faktor niat.
Bila seseorang pergi haji karena ingin mendapatkan titel haji agar terlihat lebih bonafid, misalnya, maka niat seperti ini hanya akan menjerumuskan diri pada kesia-siaan. Ibadah haji adalah panggilan hati dan kewajiban setiap Muslim. Bahkan, dapat dianggap hutang bila belum ditunaikan. Alangkah indahnya andai sebelum mati, kita bisa menyempurnakan keislaman kita, hingga Allah pun berkenan menyempurnakan karunia nikmatnya pada kita.
Motivasi kedua adalah ingin menghapus segala dosa. Sebesar apapun dosa seseorang, insya Allah akan terhapuskan bila hajinya diterima. Bila kita sudah memiliki keyakinan seperti ini, sebesar apapun biaya yang harus dikeluarkan untuk ibadah haji, maka akan terasa kecil nilainya dibandingkan dengan hikmah dan manfaat yang diperoleh. Bukankah uang yang kita keluarkan itu hakikatnya milik Allah juga?
Yang ketiga adalah jaminan dari Allah dan Rasul-Nya bahwa tiada balasan yang lebih pantas bagi haji mabrur, kecuali surga! Barangsiapa yakin dengan janji ini, niscaya nilai harta yang dikeluarkan terlalu murah bila dibandingkan dengan pahala yang akan didapat. Betapa tidak! Sudah dosa diampuni, mendapat jaminan syurga, semua biaya yang telah dikeluarkan pun akan diganti dengan berlipat ganda ketika di dunia ini juga.
Tidak ada orang yang pulang dari Tanah Suci dan diterima hajinya, lantas jauh miskin. Sebaliknya, Allah SWT akan memudahkan ia dalam mendapatkan rezeki. Jadi, tidak ada yang paling merugi di dunia ini, kecuali orang yang tidak mau berhaji padahal ia mampu. Bagaimana caranya agar Allah SWT berkenan mengundang kita ke rumah-Nya? Seseorang yang mencintai sahabatnya, pasti mau berbuat apa saja bagi sahabatnya tersebut.
Mungkin, suatu saat ia akan mengundang sang teman ke rumahnya. Andaikan sahabatnya tersebut tidak mempunyai ongkos, ia akan memberinya ongkos bahkan menjemputnya. Semakin dia mencintai sahabatnya, maka akan semakin senang dan ikhlas pula ia menjamunya. Demikian pula bila kita ingin diundang oleh Allah.
Jadilah orang yang dicintai-Nya. Bila kita sudah dicintai Allah, maka Allah-lah yang akan memudahkan kita agar dapat menghadap-Nya. Kuncinya, amalkan semua perbuatan yang disukai Allah. Ternyata amalan pertama yang paling disukai Allah adalah shalat tepat waktu. Syarat ini terlihat begitu sederhana.
Tapi, bila kita mampu istiqamah menjaganya, insya Allah doa kita akan mustajab. Amalan kedua adalah shalat tahajud disepertiga malam terakhir. Kedudukan shalat sunnat yang satu ini begitu istimewa, bahkan perintahnya beriringan dengan perintah shalat yang lima waktu (QS. Al-Israa: 78).
Waktu pelaksanaannya pun menjadi saat yang sangat istimewa bagi diijabahnya doa-doa. Semakin kita gemar membiasakan diri shalat tahajud, maka akan semakin mudah pula kita meraih semua yang dicita-citakan, termasuk menunaikan ibadah haji. Amalan selanjutnya adalah birul walidain; memuliakan orangtua. Demi Allah, inilah kunci utama yang dapat membuka selapang-lapangnya keridhaan Allah dan menjadikan pengamalnya meraih kemuliaan dunia akhirat.
Allah SWT berfirman, Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu (QS. Lukman: 14).
Termasuk ke dalam birul walidain ini adalah mendidik anak-anak kita agar menjadi insan-insan shalih yang akan menyelamatkan kita dari adzab neraka--baik dunia maupun akhirat. Amalan keempat yang disukai Allah adalah sedekah. Siapa saja yang ingin cita-citanya terkabul, hendaklah ia gemar bersedekah.
Bersedekah dengan ikhlas, tidak hanya membuat doa-doa kita mustajab, tetapi akan melahirkan pula kebaikan-kebaikan lainnya. Bersedekah tidak harus selalu dengan uang, senyuman yang tulus termasuk pula sedekah. Barangsiapa yang ingin dibahagiakan Allah, maka bahagiakanlah orang lain.
Barangsiapa ingin ditolong Allah, maka tolonglah orang lain. Barangsiapa ingin dimudahkan urusannya oleh Allah, maka mudahkanlah urusan orang lain. Pendek kata, begitu banyak peluang untuk menjadi hamba yang disukai Allah. Kita ini milik Allah, begitupun harta yang kita miliki.
Sebanyak apapun harta yang kita belanjakan di jalan Allah, pasti Ia akan mengganti harta yang kita belanjakan tersebut dengan yang lebih banyak dan berkah. Karena itu tak heran bila Rasulullah SAW selalu melepas orang yang berhaji dengan sebuah doa, "Semoga Allah menerima hajimu, mengampuni dosamu, dan mengganti biaya-biayamu" (HR. Ad-Dainuri). Jadi, apalagi yang kita cemaskan dari janji-janji Allah tersebut?
Status keduanya pun berubah, asalnya kenalan biasa tiba-tiba jadi suami, asalnya tetangga rumah tiba-tiba jadi istri. Orang tua pun yang tadinya sepasang, saat itu tambah lagi sepasang. Karenanya, andaikata seseorang berumah tangga dan dia tidak siap, serta tidak mengerti bagaimana memposisikan diri, maka rumah tangganya hanya akan menjadi awal berdatangannya aneka masalah. Ketika seorang suami tidak sadar bahwa dirinya sudah beristri, lalu bersikap seperti seorang yang belum beristri, akan jadi masalah.
Dia juga punya mertua, itupun harus menjadi bagian yang harus disadari oleh seorang suami. Setahun, dua tahun kalau Allah mengijinkan akan punya anak, yang berarti bertambah lagi status sebagai bapak. Bayangkan begitu banyak status yang disandang yang kalau tidak tahu ilmunya justru status ini akan membawa mudharat. Karenanya menikah itu tidak semudah yang diduga, pernikahan yang tanpa ilmu berarti segera bersiaplah untuk mengarungi aneka derita.
Orang yang stres dalam rumah tangganya terjadi karena ilmunya tidak memadai dengan masalah yang dihadapinya. Begitu juga bagi wanita yang menikah, ia akan jadi seorang istri. Tentu saja tidak bisa sembarangan kalau sudah menjadi istri, karena memang sudah ada ikatan tersendiri. Status juga bertambah, jadi anak dari mertua, ketika punya anak jadi ibu. Demikianlah, Allah telah menyetingnya sedemikian rupa sehingga suami dan istri, keduanya mempunyai peran yang berbeda-beda.
Tidak bisa menuntut emansipasi karena memang tidak perlu ada emansipasi, yang diperlukan adalah saling melengkapi. Seperti halnya sebuah bangunan yang menjulang tinggi, ternyata dapat berdiri kokoh karena adanya prinsip saling melengkapi. Ada semen, bata, pasir, kayu, dan bahan-bahan lainnya lalu bergabung dengan tepat sesuai posisi dan proporsinya sehingga kokohlah bangunan itu.
Sebuah rumah tangga juga demikian, jika suami tidak tahu posisi, tidak tahu hak dan kewajiban, begitu juga istri tidak tahu posisi, anak tidak tahu posisi, mertua tidak tahu posisi, maka akan seperti bangunan yang tidak diatur komposisi bahan-bahan pembangunnya, ia akan segera ambruk. Begitu juga jika mertua tidak pandai-pandai jaga diri, misal dengan mengintervensi langsung pada manajemen rumah tangga anak, maka sang mertua sebenarnya tengah mengaduk-aduk rumah tangga anaknya sendiri.
Seorang pemimpin hanya akan jadi pemimpin jika ada yang dipimpin. Artinya, jangan merasa lebih dari yang dipimpin. Seperti halnya presiden tidak usah sombong kepada rakyatnya, karena kalau tidak ada rakyat lalu mengaku jadi presiden, bisa dianggap orang gila. Makanya, presiden jangan merendahkan rakyat karena dengan adanya rakyat dia jadi presiden. Tidak layak seorang pemimpin merasa lebih dari yang dipimpin karena status pemimpin itu ada jikalau ada yang dipimpin.
Misalkan, istrinya bergelar master lulusan luar negeri sedangkan suaminya lulusan SMU, dalam hal kepemimpinan rumah tangga tetap tidak bisa jadi berbalik dengan istri menjadi pemimpin keluarga. Oleh karena itu, bagi para suami jangan sampai kehilangan kewajiban sebagai suami. Suami adalah tulang punggung keluarga, seumpama pilot bagi pesawat terbang, nakhoda bagi kapal laut, masinis bagi kereta api, sopir bagi angkutan kota, atau sais bagi sebuah delman.
Sebagai seorang pemimpin, suami pun harus berpikir bagaimana mengatur bahtera rumah tangga agar mampu berkelok-kelok dalam mengarungi badai gelombang agar bisa mendarat bersama semua awak kapal untuk menepi di pantai harapan, yaitu surga. Karenanya seorang suami harus tahu ilmu bagaimana mengarungi badai, ombak, relung, dan pusaran air, supaya selamat tiba di pantai harapan. Tidak ada salahnya ketika akan menikah kita merenung sejenak, ''Saya ini sudah punya kemampuan atau belum untuk menyelamatkan anak dan istri dalam mengarungi bahtera kehidupan hingga bisa kembali ke pantai pulang nanti?
'' Menikah bukan hanya masalah mampu cari uang, walau ini juga penting, tapi bukan salah satu yang terpenting. Suami bekerja keras membanting tulang memeras keringat, tapi ternyata tidak shalat, sungguh sangat merugi. Ingatlah karena kalau sekedar cari uang, harap tahu saja bahwa garong juga tujuannya cuma cari uang, lalu apa bedanya dengan garong? Hanya beda cara, tapi cita-citanya sama.
Buat kita cari nafkah itu termasuk dalam proses mengendalikan bahtera. Tiada lain supaya makanan yang jadi keringat statusnya halal, supaya baju yang dipakai statusnya halal, atau agar kalau beli buku juga dari rejeki yang statusnya halal. Hati-hatilah, walaupun di kantong terlihat banyak uang, tetap harus pintar-pintar mengendalikan penggunaannya, jangan main comot saja.
Seperti halnya ketika mancing ikan di tengah lautan, walaupun nampak banyak ikan, tetap kita harus hati-hati, siapa tahu yang menyangkut di pancing adalah ikan hiu yang justru bisa mengunyah kita, atau tampak manis gemulai tapi ternyata ikan duyung. Ketika ijab kabul, seorang suami harusnya bertekad, ''Saya harus mampu memimpin rumah tangga ini mengarungi episode hidup yang sebentar di dunia agar seluruh anggota awak kapal dan penumpang bisa selamat sampai tujuan akhir, yaitu surga.
'' Bahkan, jika dalam kapal ikut penumpang lain, misalkan ada pembantu, keponakan, atau yang lainnya, maka sebagai pemimpin tugasnya sama juga, yaitu harus membawa mereka ke tujuan akhir yang sama, yaitu surga. Allah SWT berfirman, ''Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu'' (QS At-Tahriim: 6). Semoga kita bisa menjadi pemimpin ideal, yaitu pemimpin yang bersungguh-sungguh mau memajukan setiap orang yang dipimpinnya. Siapapun orangnya didorong agar menjadi lebih maju. Wallahu a'lam bish-shawab.
Bayangkan! Sewaktu di perut ibu, sembilan bulan kita menghisap darahnya. Saat itu, ibu sulit berdiri dan berjalan pun berat, bahkan berbaringpun sakit. Tiga bulan pertama mual dan muntah karena ada kita di perutnya. Ketika kita akan terlahir ke dunia, ibu meregang nyawa antara hidup dan mati. Meskipun bersimbah darah dan sakit tiada terperi, tapi ibu tetap rela dengan kehadiran kita. Setelah lahir, satu persatu jari kita dihitungnya dan dibelainya. Di tengah rasa sakit, beliau tiba-tiba tersenyum dengan lelehan air mata bahagia melihat kita terlahir. Dan saat itu pula ibu menyangka akan lahir anak yang saleh yang memuliakannya.
Coba kita renungkan kembali! Pada waktu kita masih bayi, tidak kenal siang dan malam kita berbaring dan bangun sesuka hati. Padahal ibu kita hampir tidak tidur semalam suntuk. Rasanya, beliau tidak rela bila ada satu ekor nyamuk pun yang mengigit tubuh kita. Ketika kita mulai kecil mulai nakal, ibu bahagia memamerkan diri kita kepada tetangga-tetangganya. Walaupun untuk itu beliau begitu direpotkan, berutang sana sini agar kita punya sepatu dan berpakaian layak.
Ketika menjelang sekolah, ibu dan ayah sungguh-sungguh membanting tulang mencari nafkah, agar kita bisa sekolah seperti anak-anak yang lain. Walaupun mereka harus menahan lapar, namun puas asal anak-anaknya bisa kenyang. Dalam kenyataannya, seiring pertumbuhan kita, tidak sebaik itu bakti kita kepada mereka. Semakin lama kita semakin besar, mata jadi sering sinis kepada orang tua. Jangankan mencium tangan ibunda, untuk sebuah senyum pun kita terkadang berat untuk melakukannya. Bahkan ucapan dan tindakan kita seakan seperti pisau yang sering mengiris hatinya. Lebih dari itu, sering seorang anak begitu mudah menyuruh-nyuruh orang tuanya.
Tak ubahnya seperti pesuruh yang dihormati sekadarnya. Padahal tenaga, keringat, dan darah mereka habis untuk membela kita. Lebih parah lagi, ada sebagian anak yang tidak mau memuliakan orang tuanya. Manakala orang tua semakin jompo dan si anak tidak mau mengurusnya, maka dititipkan orang tuanya di panti jompo, astagfirullah. Ini adalah perbuatan yang sangat tercela. Padahal dulu kita sangat menyusahkannya. Harusnya semua itu diingat-ingat. Maka tak heran jika ada anak yang durhaka, anak yang tidak tahu balas budi, hidupnya di dunia ini akan diliputi penderitaan. Kita sering mendengar, betapa hukuman-hukuman Allah langsung diberikan pada anak-anak yang sering menzalimi orang tuanya.
Oleh karena itu, marilah kita berusaha untuk selalu mengenang kembali semua untaian pengorbanan orang tua. Beruntunglah bagi siapapun yang orang tuanya masih ada, karena jika orang tua sudah terbungkus kain kafan, kita tidak bisa lagi mencium tangannya atau menatap wajahnya. Karena itu kita harus memiliki tekad yang sangat kuat untuk berbakti pada orang tua. Minimal kita berhenti menyakiti hati orang tua hingga tidak ada luka yang ditoreh di hatinya. Syukur kalau kita sudah bisa menyenangkannya dan diberkahi manfaat besar bagi dunia dan juga akhiratnya. Dalam hal ini, yang paling penting dalam menghormati mereka bukan hanya dengan memberi harta. Namun yang paling dibutuhkan adalah akhlak dari anaknya.
Apalah artinya anak kaya, anak bergelar, anak berpangkat, tetapi tidak berakhlak kepada ibu bapaknya? Dan akhlak inilah sebenarnya kekayaan termahal yang bisa membuat sang anak doanya diijabah oleh AllahAzza wa Jalla, sehingga bisa menyelamatkan serta memuliakan ibu bapaknya. Betapa yang dirindukan orang tua itu senyum manis yang tulus dari anaknya serta ketawadhuan.
''Tidak, aku sehat walafiat,'' sahut Nabi. ''Tapi mengapa tiap kali kau gerakkan tubuhmu, tulang-tulangmu berkeretakan. Pasti engkau sakit.'' ''Tidak, aku segar bugar,'' masih jawab Nabi.
Namun, lantaran para sahabat kelihatan makin khawatir, beliau lantas membuka jubahnya. Tampak oleh para sahabat, Nabi mengikat perutnya yang kempes dengan selempang kain yang diisi batu-batu kecil untuk menahan rasa lapar. Batu-batu itulah yang mengeluarkan bunyi kletak-kletik. Umar memekik, ''Ya Rasul, alangkah hina kami dalam pandanganmu. Apakah kau kira jika kau katakan lapar, kami tidak bersedia menyuguhkan makanan bagimu?''
Rasul menggeleng seraya tersenyum. Lalu, ''Umar, aku tahu kalian para sahabat sangat mencintaiku. Tapi di mana akan kuletakkan mukaku di hadapan Allah, apabila sebagai pemimpin justru aku membikin berat orang-orang yang kupimpin?'' ujarnya. ''Biarlah aku lapar, supaya manusia di belakangku tidak terlalu serakah sampai menyebabkan orang lain kelaparan,'' lanjut Nabi SAW.
Kejadian kecil seperti dimuat dalam The Stories of Sahabah itu sudah 14 abad berlalu. Kini kelaparan masih menghantui sebagian penduduk dunia. Lalu, apakah Tuhan tidak pandai menyediakan rezeki secara adil kepada segenap makhluk-Nya? Gugatan semacam itu, tentu hanya muncul dari mulut orang-orang kafir, sebagaimana disitir dalam Surah Yasin.
Tuhan Maha Bijaksana, Tuhan Maha Penyayang, rahmatNya tersebar merata. Kalau kelaparan masih bercokol di bumi, tak lain lantaran masih ada orang-orang serakah yang menguasai jatah lebih banyak untuk keperluan yang sedikit. Sabda Nabi SAW, ''Limadza tabnuna ma la taskununa? Limadza tuktsiruna ma la takkuluna? (Mengapa kalian membangun yang tak kalian tempati? Mengapa kalian menimbun banyak, padahal tak kalian makan?) ''
Atau, menurut pemimpin muslim Pakistan, Muhammad Ali Jinnah, ''This world is enough for every man's needs, but it is not enough for a man's greed. (Dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh manusia, tetapi takkan pernah cukup untuk memuaskan ketamakan seorang manusia yang serakah).