Bayangkan! Sewaktu di perut ibu, sembilan bulan kita menghisap darahnya. Saat itu, ibu sulit berdiri dan berjalan pun berat, bahkan berbaringpun sakit. Tiga bulan pertama mual dan muntah karena ada kita di perutnya. Ketika kita akan terlahir ke dunia, ibu meregang nyawa antara hidup dan mati. Meskipun bersimbah darah dan sakit tiada terperi, tapi ibu tetap rela dengan kehadiran kita. Setelah lahir, satu persatu jari kita dihitungnya dan dibelainya. Di tengah rasa sakit, beliau tiba-tiba tersenyum dengan lelehan air mata bahagia melihat kita terlahir. Dan saat itu pula ibu menyangka akan lahir anak yang saleh yang memuliakannya.
Coba kita renungkan kembali! Pada waktu kita masih bayi, tidak kenal siang dan malam kita berbaring dan bangun sesuka hati. Padahal ibu kita hampir tidak tidur semalam suntuk. Rasanya, beliau tidak rela bila ada satu ekor nyamuk pun yang mengigit tubuh kita. Ketika kita mulai kecil mulai nakal, ibu bahagia memamerkan diri kita kepada tetangga-tetangganya. Walaupun untuk itu beliau begitu direpotkan, berutang sana sini agar kita punya sepatu dan berpakaian layak.
Ketika menjelang sekolah, ibu dan ayah sungguh-sungguh membanting tulang mencari nafkah, agar kita bisa sekolah seperti anak-anak yang lain. Walaupun mereka harus menahan lapar, namun puas asal anak-anaknya bisa kenyang. Dalam kenyataannya, seiring pertumbuhan kita, tidak sebaik itu bakti kita kepada mereka. Semakin lama kita semakin besar, mata jadi sering sinis kepada orang tua. Jangankan mencium tangan ibunda, untuk sebuah senyum pun kita terkadang berat untuk melakukannya. Bahkan ucapan dan tindakan kita seakan seperti pisau yang sering mengiris hatinya. Lebih dari itu, sering seorang anak begitu mudah menyuruh-nyuruh orang tuanya.
Tak ubahnya seperti pesuruh yang dihormati sekadarnya. Padahal tenaga, keringat, dan darah mereka habis untuk membela kita. Lebih parah lagi, ada sebagian anak yang tidak mau memuliakan orang tuanya. Manakala orang tua semakin jompo dan si anak tidak mau mengurusnya, maka dititipkan orang tuanya di panti jompo, astagfirullah. Ini adalah perbuatan yang sangat tercela. Padahal dulu kita sangat menyusahkannya. Harusnya semua itu diingat-ingat. Maka tak heran jika ada anak yang durhaka, anak yang tidak tahu balas budi, hidupnya di dunia ini akan diliputi penderitaan. Kita sering mendengar, betapa hukuman-hukuman Allah langsung diberikan pada anak-anak yang sering menzalimi orang tuanya.
Oleh karena itu, marilah kita berusaha untuk selalu mengenang kembali semua untaian pengorbanan orang tua. Beruntunglah bagi siapapun yang orang tuanya masih ada, karena jika orang tua sudah terbungkus kain kafan, kita tidak bisa lagi mencium tangannya atau menatap wajahnya. Karena itu kita harus memiliki tekad yang sangat kuat untuk berbakti pada orang tua. Minimal kita berhenti menyakiti hati orang tua hingga tidak ada luka yang ditoreh di hatinya. Syukur kalau kita sudah bisa menyenangkannya dan diberkahi manfaat besar bagi dunia dan juga akhiratnya. Dalam hal ini, yang paling penting dalam menghormati mereka bukan hanya dengan memberi harta. Namun yang paling dibutuhkan adalah akhlak dari anaknya.
Apalah artinya anak kaya, anak bergelar, anak berpangkat, tetapi tidak berakhlak kepada ibu bapaknya? Dan akhlak inilah sebenarnya kekayaan termahal yang bisa membuat sang anak doanya diijabah oleh AllahAzza wa Jalla, sehingga bisa menyelamatkan serta memuliakan ibu bapaknya. Betapa yang dirindukan orang tua itu senyum manis yang tulus dari anaknya serta ketawadhuan.
Ma'af Pak Ustad sya mau nanya jika da orang lain yang mendahuluhi memaki-maki kita sedangkan kita tidak melakukan kesalahan kemudian kita pun balas dia.pa kita itu salah??
makasih banyak.........
Insya Allah Bila kita bersabar dan dalam kesabaran kita ikhlas maka itu lebih baik.Mungkin saja balasan kita bisa lebih berdosa dari perbuatannya, tapi bila kita ikhlas ..., Insya Allah ladang amal untuk kita.Amin.