بسم الله الرحمن الرحيم وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ (1) وَطُورِ سِينِينَ (2) وَهَذَا الْبَلَدِ الْأَمِينِ (3) لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ (4) ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ (5) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ (6)
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا (7) فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا (8) قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (9) وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا (10)
Artinya: Dan jiwa serta penyempurnaan-Nya (ciptaanNya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa tersebut (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya. Maka beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu dan merugilah siapa yang mengotorinya.
Tertanam dalam hati manusia, bahwa proses penyempurnaan jiwa bukanlah hal yang mustahil, ghoib bahkan misteri adanya, namun is merupakan sebuah proses yang sangat dimungkinkan bagi tiap manusia untuk sampai kepadanya. Dengan fitrah kemanusiaannya, kemampuan daya akalnya, serta keyakinannya pada kitab suci Allah sebagai petunjuk hidup, mengantarkan manusia pada cahaya kebenaran akan jalan yang diridhoi Allah Swt. Sebagaimana dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمْ بُرْهَانٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُورًا مُبِينًا (174) فَأَمَّا الَّذِينَ آَمَنُوا بِاللَّهِ وَاعْتَصَمُوا بِهِ فَسَيُدْخِلُهُمْ فِي رَحْمَةٍ مِنْهُ وَفَضْلٍ وَيَهْدِيهِمْ إِلَيْهِ صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا (175)
Artinya: hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu dan telah kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang. Ada pun orang-orang yang berinian kepada Allah dan berpegang teguh kepada Agamanya, niscaya Allah akan memasukan mereka kedalam rahmat-Nya dan limpahan karunia-Nya. Dan menunjuki kepada mereka jalan yang lurus.
Dalam tradisi kaum sufi terdapat postulat yang berbunyi Man 'arafa nafsahu faqad 'arafa rabbabu - Siapa yang telah mengenal dirinya maka is (akan mudah) mengenal Tuhannya. Tampak pengenalan diri merupakan 'tangga' yang harus dilewati seseorang untuk mendekati jenjang yang lebih tinggi dalam mengenal Tuhannya.
Namun realita saat ini, menjadikan manusia selalu dipengaruhi berbagaimacam hambatan maupun anomali-anomali sosial. Dengan majunya spesialisasi dalam dunia ilmu pengetahuan dan berkembangnya differensiasi dalam profesi kehidupan, menjadikan protret maupun konsep tentang realitas manusia semakin terpecah menjadi kepingankepingan kecil yang tidak menggambarkan sosok manusia secara utuh. Manusia hanya dijadikan sebagai obyek kajian material belaka yang hanya mengsampingkan arti dan hakekat manusia itu sendiri, bahkan manusia hanya selalu dijadikan obyek yang mengandung sejuta misteri yang mengundang kegelisahan kaum intelektual untuk berlomba mencari jawabannya. Semakin ia mendalami satu sudut kajian tentang manusia, maka semakin jauh ia terkurung dalam bilik lorong yang ia masuki, yang berarti hilanglah pemahamannya tentang manusia secara komprehensif dan berakhir dengan menjauhnya ia dari Tuhannya.
Sudah saatnya manusia mengenal arti dan makna kehidupan dalam dirinya, yang dikejawantahkan dalam mendalami falsafah 'Innalillahi wa Inna ilaihi roji'un, bahwa segala sesuatu adalah milik-Nya, dan kepada-Nyalah kita akan kembali. Sebuah ucapan yang sangat sederhana, simple dan enteng untuk diucapkan, namun ia memiliki makna yang sangat dalam untuk menggambarkan asal muwassal bahkan originalitas manusia itu sendiri.
Sudah saatnya manusia sadar, bahwa manusia memiliki sifat-sifat yang menyerupai sang Khaliq dan paling potensial untuk mendekati-Nya. Seperti dalam firman-Nya yang menggambarkan bahwa manusia merupakan bagian dari ruh yang ditiup Allah ke dalam jiwanya, ini menandakan bahwa manusia merupakan bagian dari ciptaan-Nya yang mulia.
فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ (الحجر29)
Dalam mengantarkan manusia untuk mengenal jati dirinya, untuk kemudian membawanya pada proses penyempurnaan diri, perlu kiranya mengenal beberapa tahapan yang dapat memudahkan sang makhluq menuju sang kholiq, diantaranya:
1. Ta'alluq (Menggantungkan hati dan pikiran hanya untuk Allah)
Dalam istilah lain dikenal dengan zikir kepada Allah. Dengan berusaha mengingat dan mengikatkan kesadaran hati dan pikiran kita kepada Allah. Apapun, bagaimanapun dan dimanapun kondisi seorang mukmin berada, maka is terikat dan tidak terlepas dari berfikir dan berdzikir kepada Allah. Sebagaimana dalam firman-Nya:
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (آل عمران191)
2. Takhalluq
Takhalluq merupakan suatu upaya menuju proses penyempurnaan diri melalui pengejewantahan sifat-sifat Tuhan yang mulia untuk dapat ditiru dalam sifat-sifat seorang mukmin. Sehingga is memiliki sifat-sifat mulia sebagaimana sifat-sifat Tuhan. Proses ini bisa juga disebut proses internalisasi sifat Tuhan ke dalam diri manusia. Seperti halnya banyak di antara kalangan sufi yang dalam hal ini menyandarkan Hadist Nabi yagn berbunyi: "Takhallaq bi Akhlaq-I Allah". Yang artinya berakhlaglah seperti Akhlaq Tuhan.
3. Tahaqquq (Aktualisasi sikap)
Adalah merupakan suatu proses untuk mengaktualisasikan kesadaran dan kapasitas dirinya sebagai seorang mukmin - sebagaimana tercermin dalam proses takhalluq - untuk kemudian mengaplikasikannya dalam perilaku kehidupan sehari-hari. la merupakan proses terakhir dari pengejewantahan proses takhalluq untuk menuju manusia yang sempurna.
Sebuah gambaran singkat menuju proses penyempurnaan diri manusia, yang berangkat dari pengenalan arti dan hakekat manusia itu sendiri, untuk kemudian sampai kepada Tuhannya.
0 Response to "Ta'alluq, Takhalluq dan Tahaqquq"